Sejarah Candi-Candi Di Indonesia
DATA CANDI
Peninggalan bangunan kuna yang terbuat
dari susunan batu berbentuk Candi umumnya terbagi menjadi dua ragam,
yaitu: ragam Jawa Tengah dan ragam jaawa Timur. Ciri-ciri ragam Jawa
Tengah ialah: bentuk bangunannya tambun, atasnya berundak-undak, puncak
berbentuk ratna atau stupa, gawang pintu dan relug berhias Kalamakara,
reliefnya timbul agak tinggi berlukiskan naturalis, letak candi di
tengah halaman, menghadap ke timur, dan terbuat dari batu andesit.
Ciri-ciri ragam Jawa Timur, ialah: bentuk
bangunan ramping, atapnya merupakan perpaduan tingkatan, puncak
berbentuk kubus, makara tidak ada, relief timbul sedikit dengan lukisan
simbolis menyerupai wayang kulit, letak candi di belakang halaman,
menghadap ke barat, kebanyakan terbuat dari bata.
Candi Brahma
Nama candi di kompleks Candi Prambanan,
terletak di sebelah selatan Candi Siwa. Didalamnya terdapat patung
Brahma yang berkepala empat sebagai dewa pencipta alam. Dibawah patung
Brahma terdapat sebuah sumur. Pada setiap dinding kamar candi terdapat
batu yang menonjol yang berfungsi sebagai tempat meletakkan lampu.
Candi Asu
Nama candi yang terletak di Desa Candi
Pos, kelurahan Sengi, kecamatan Dukun, kabupaten magelang, propinsi Jawa
tengah. Di dekatnya juga terdapat 2 buah candi Hindu lainnya, yaitu
candi Pendem dan candi Lumbung. Nama candi tersebut merupakan nama baru
yang diberikan oleh masyarakat sekitarnya. Disebut Candi Asu karena
didekat candi itu terdapat arca Lembu Nandi, wahana dewa Siwa yang
diperkirakan penduduk sebagai arca asu ‘anjing’. Disebut Candi Lumbung
karena diduga oleh penduduk setempat dahulu tempat menyimpan padi.
Ketiga candi tersebut terletak di pinggir Sungai Pabelan, dilereng barat
Gunung Merapi, di daerah bertemunya (tempuran) Sungai Pabelan dan
Sungai Tlingsing. Ketiganya menghadap ke barat. Candi Asu berbentuk
bujur sangkar dengan ukuran 7,94 meter. Tinggi kaki candi 2,5 meter,
tinggi tubuh candi 3,35 meter. Tinggi bagian atap candi tidak diketahui
karena telah runtuh dan sebagian besar batu hilang. Melihat ketiga candi
tersebut dapat diperkirakan bahwa candi-candi itu termasuk bangunan
kecil. Di dekat Candi Asu telah diketemukan dua buah prasati batu
berbentuk tugu (lingga), yaitu prasasti Sri Manggala I ( 874 M ) dan Sri
Manggala II ( 874 M ).
Candi Mendut
Candi Mendut merupakan candi kedua
terbesar di daerah Kudu setelah Barabudur. Candi ini terletak di desa
Mendut, Mungkid, Magelang, berjarak sekitar 38 km ke arah barat laut
kota Yogyakarta dan 3 km dari Candi Barabudur. Candi mendut bersifat
Budhistis dan terkait erat dengan Candi Borobudur serta Candi Pawon.
Bahkan ketiga candi tersebut merupakan suatu kesatuan dan berada dalam
satu garis lurus.
Candi Mendut juga tidak diketahui secara
pasti tahun pembangunannya dan raja yang berkuasa saat itu. Namun J.G.
de Casparis dalam disertasinya menghubungkan Candi Mendut dengan raja
Indra, salah seorang raja keturunan Sailendra. Sebuah prasasti yang
ditemukan di desa karangtengah berangka tahun 824 M yang dikeluarkan
raja Sailendra lainnya yaitu Samarattungga, menyebutkan bahwa raja Indra
ayah Samarattungga telah membangun sebuah bangunan suci bernama
Venuvana (hutan bambu). Jika pendapat Casparis ini benar, maka Candi
Mendut didirikan sekitar tahun 8000 M juga. Data lain yang dapat
digunakan sebagai pertanggalan Candi mendut adalah ditemukannya tulisan
pendek (bagian dari mantra Budhis) yang diduga berasal dari bagian atas
pintu masuk.
Dari segi paleografis tulisan tersebut
ada persamaan dengan tulisan-tulisan pendek pada relief Karmawibhangga
di Candi Barabudur sehingga diduga Candi Mendut sezaman dengan Barabudur
dan mungkin lebih tua.
Pada tahun 1834 Candi Mendut mulai
mendapat perhatian meskipun mengalami nasib yang sama dengan candi-candi
lainnya, yaitu dalam kondisi runtuh dan hancur. Hartman, seorang
residen Kedu saat itu mulai memperhatikan Candi Mendut. Dalam tahun 1897
dilakukan persiapan-persiapan untuk pemugaran. Dari tahun 1901-1907
J.L.A. Brandes melangkah lebih maju dan berusaha merestorasi Candi
Mendut dan kemudian tahun 1908 dilanjutkan oleh Van Erp meskipun tidak
berhasil merekonstruksi secara lengkap.
J.G. de Casparis berpendapat bahwa Candi
Mendutdibangun untuk memuliakan leluhur-leluhur Sailendra. Di bilik
utama candi ini terdapat 3 buah arca yang menurut para ahli arca-arca
tersebut diidentifikasi sebagai Cakyamuni yang diapit oleh Bodhisatwa,
Lokeswara dan Bajrapani. Dalam kitab Sang Hyang Kamahayanikan disebutkan
bahwa realitas yang tertinggi (advaya) memanifestasikan dirinya dalam 3
dewa (Jina) yaitu : Cakyamuni, Lokesvara, dan Bajrapani. Sebagai candi
yang bersifat Budhistist, relief-relief di Candi mendut juga berisi
cerita-cerita ajaran moral yang biasanya berupa cerita-cerita binatang
yang bersumber dari Pancatantra dari India. Cerita tersebut antara lain
adalah seekor kura-kura yang diterbangkan oleh dua ekor angsa dan di
bawahnya dilukiskan beberpa anal gembala yang seolah-olah mengejek
kura-kura tersebut. Oleh karena kura-kura tersebut emosional dalam
menanggapi ejekan, maka terlepaslah gigitannya dari tangkai kayu yang
dipegang sehingga terjatuh dan mati. Inti ceritanya adalah ajaran
tentang sifat kesombongan yang akan mencelakakan diri sendiri.
Arah candi Mendut tidak tepat ke arah
barat, tetapi sedikit bergeser ke arah barat laut. Luas bengunan
keseluruhan adalah 13,7 x 13,7 meter dan tinggi sampai sebagian atapnya
sekitar 26,5 meter.
Candi Nandhi
Salah satu candi di kompleks Candi
Prambanan terletak di deretan sebelah timur. Candi ini hanya mempunyai
satu tangga masuk yang menghadap ke barat, tepat di depan jalan masuk ke
Candi Siwa. Didalam candi ini terdapat patung seekor lembu jantan besar
berbaring menghadap ke Candi Siwa. Lembu jantan ini disebut Nandi,
yaitu kendaraan Siwa. Pada bagian lain dalam Candi Nandi terdapat pula
dua patung, yaitu Dewa Surya, berdiri di atas kereta yang ditarik oleh
tujuh ekor kuda dan Dewa Candra, berdiri di atas kereta yang ditarik
oleh sepuluh ekor kuda.
Candi Pawon
Candi Pawon dipugar tahun 1903. Nama
Candi Pawon tidak dapat diketahui secara pasti asal-usulnya. J.G. de
Casparis menafsirkan bahwa Pawon berasal dari bahasa Jawa Awu(=abu)
mendapat awalan pa dan akhiran an yang menunjukkan suatu tempat. Dalam
bahasa Jawa sehari-hari kata pawon berarti dapur., akan tetapi
casparismengartikan perabuan. Penduduk setempat juga menyebutkan candi
Pawon dengan nama Bajranalan. Kata ini mungkin berasal dari kata
Sansekerta Vajra (=halilintar) dan anala (=api). Dengan mitologi India,
Dewa Indra digambarkan bersenjatakan vajranala, sehingga apakah ada
hubungannya dengan raja Indra seperti yang disebutkan dalam prasasti
Karangtengah.
Di dalam bilik candi ini sudah ditemukan
lagi arca sehingga sulit untuk mengidentifikasikannya lebih jauh. Suatu
hal yang menarik dari Candi Pawon ini adalah ragam hiasnya.
Dinding-dinding luar candi dihias dengan relief pohon hayati
(=kalpataru) yang diapit pundi-pundi dan kinara-kinari (mahluk setengah
manusia setengah burung/berkepala manusia berbadan burung).Letak Candi
Pawon ini berada di antara candi Mendut dan candi Barabudur, tepat
berjarak 1750 m dari candi Barabudur dan 1150 m dari Candi Mendut.
Candi Watu Gudhig
Watu Gudhig nama candi abad IX M,
terletak sekitar 4 km sebelah barat daya Candi Prambanan. Tepatnya di
pinggir sebelah timur sungai Opak atau sebelah barat jalan raya
Prambanan dangan Piyungan. Nama Watu Gudhig juga merupakan nama baru
yang diberikan oleh penduduk setempat karena batu-batu candi (umpak
batu) terkena lumut dan warnanya berbintik-bintik sperti penyakit kulit
(gudhig). Tidak jelas nama aslinya pada zaman dahulu.
Sebuah candi yang dibangun pada sekitar
abad XV terletak di lereng gunung Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar
Jawa Tengah . Dari permukaan air laut, ketinggiannya sekitar 910 M.
Berhawa sejuk dengan panorama yang indah. Kompleks Situs purbakala Candi
Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda
empat, dengan jarak 27 Km dari kota Karanganyar. Situs purbakala Candhi
Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta “Yohson” ketika masa
penjajahan Inggris.
Mulai saat itu banyak kalangan sarjana
mengadakan penelitian Candhi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun
1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan
sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim. Untuk mencegah kerusakan yang
semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat pernah merehabilitasi
Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi Sukuh seperti
kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga tiga trap.
Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura. Gapura-gapura itu amat
berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah,
apa lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunannya mirip candi Hindu
dipadu dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara,
yakni kebudayaan Megaliticum. Trap I Candi Sukuh menghadap ke barat.
Seperti yang sudah diutarakan, trap
pertama candi ini terdapat tangga. Bentuk gapuranya amat unik yakni
tidak tegak lurus melainkan dibuat miring seperti trapesium, layaknya
pylon di Mesir (Pylon : gapura pintu masuk ke tempat suci). Pada sisi
gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan raksasa” yakni
sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong
“(gapura raksasa memakan mansuia). Gapura dengan karakter 9, buta
karakternya 5, mangan karakter 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi
candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M,
menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini. Pada sisi selatan
gapura terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular.
Menurut KC Vrucq, relief ini juga sebuah sangkalan rumit yang bisa
dibaca : “Gapura buta anahut buntut “(gapura raksasa menggigit ekor
ular), yang bisa di baca tahun 1359 Seperti tahun pada sisi utara
gapura.
Menaiki anak tangga dalam lorong gapura
terdapat relief yang cukup vulgar. terpahat pada lantai. Relief ini
menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina. Sepintas memang
nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab
tidakmungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat
lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam.
Relief ini mirip lingga-yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa
Syiwa dengan istrinya (Parwati). Lingga-yoni merupakan lambang
kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan
maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran
yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”.
Boleh dikata relief tersebut berfungsi
sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”, yakni membersihkan segala kotoran yang
melekat di hati setiap manusia. Dalam bukunya Candi Sukuh Dan Kidung
Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan bahwa relief tersebut merupakan
sengkalan yang cukup rumit yaitu : “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu”. Wiwara
artinya gapura yang suci dengan karakter 9, Wiyasa diartikan daerah yang
terkena “suwuk” dengan karakter 5, Anahut (mencaplok) dengan karakter
3, Jalu (laki-laki) berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359
Saka. Tahun ini sama dengan tahun yang berada di sisi-sisi gapura masuk
candhi.
Trap Kedua Trap kedua lebih tinggi
daripada trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini
sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah komis. Garapannya kasar
dan kaku, mirip arca jaman pra sejarah di Pasemah. Di latar pojok
belakang dapat dijumpai seperti jejeran tiga tembok dengan
pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Relief sebelah
selatan menggambarkan seorang wanita berdiri di depan tungku pemanas
besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan”( peralatan mngisi udara
pada pande besi). Barangkali maksudnya agar api tungku tetap menyala.
Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat
pembangunan candhi sukuh ini.Pada bagian tengah terdapat relief yang
menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor.
Inipun salah satu sengkalan yang rumit
pula yang dapat dibaca : Gajah Wiku Anahut Buntut, dapat ditemui dari
sengkalan ini tahun tahun 1378 Saka atau tahun 1496 M. Relief pada
sebelah utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki
selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris,
tumbak dan pisau. Trap Ketiga Trap ketiga ini trap tertinggi yang
merupakan trap paling suci. Candhi Sukuh memang dibuat bertrap-trap
semakin ke belakang semakin tinggi. Berbeda dengan umumnya candhi-candhi
di di Jawa Tengah, Candi Sukuh dikatakan menyalahi pola dari buku
arsitektur Hindu Wastu Widya. Di dalam buku itu diterangkan bahwa bentuk
candhi harus bujur sangkar dengan pusat persis di tengah-tengahnya, dan
yang ditengah itulah tempat yang paling suci.
Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata
menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang
mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah
memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia
terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman
Megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia
tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada candhi Sukuh ini. Karena
trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah bila ada banyak
petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga
ini juga dibagi dua oleh jalan setapa yang terbuat dari batu. Jalan batu
di tengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada
umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah
jaman Megalithic.
Di sebelah selatan jalan batu, di
pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala.
Sudamala adalah salah satu 5 ksatria Pandawa atau yang dikenal dengan
Sadewa. Disebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari
Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya.
Sadewa berhasil “ngruwat” Bethari Durga yang semula adalah raksasa
betina bernama Durga atau sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang
semula yakni seorang bidadari.di kayangan dengan nama bethari Uma
Sudamala maknanya ialah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau
yang telah berhasil “ngruwat”.Adapun Cerita Sudamala diambil dari buku
Kidung Sudamala. Sejumlah lima adegan yaitu : 1. Relief pertama
menggambarkan ketika Dewi Kunti meminta kepada Sadewa agar mau “ngruwat”
Bethari Durga namun Sadewa menolak. 2. Relief kedua menggambarkan
ketika Bima mengangkat raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanannya menancapkan kuku “Pancanaka” ke perut raksasa. 3. Relief ketiga
menggambarkan ketika Sadewa diikat kedua tangannya diatas pohoh randu
alas karena menolak keinginan “ngruwat” sang Bethari Durga. Dan sang
Durga mengancam Sadewa dengan sebuah pedang besar di tangnnya untuk
memaksa sadewa.. 4. Relief keempat menggambarkan Sadewa berhasil
“ngruwat” sang Durga. Sadewa kemudian diperintahkan pergi kepertapaan
Prangalas.
Disitu Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa
5. Relief kelima menggambarkan ketika Dewi Uma (Durga setelah diruwat
Sadewa) berdiri di atas Padmasana. Sadewa beserta panakawan menghaturkan
sembah pada sang Dewi Uma. Pada pelataran itu juga dapat ditemui
soubasement dengan tinggi 85 cm, luasnya sekitar 96 M². Ada juga obelisk
yang menyiratkan cerita Garudeya. Cerita ikwal Garudeya merupakan
cerita “ruwatan” pula. Ceritanya sebagai berikut : Garuda mempunyai ibu
bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama
dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena kalah bertaruh
tentang warna ekor kuda uchaiswara. Dewi Kadru menang dalam bertaruh
sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berujud ular naga
yang berjumlah seribu menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda uchaiswara
sehingga warna ekor kuda berubahhitam Dewi Winata dapat diruwat sang
Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para
dewa.
Demikianlah keterangan menurut kisah
adhiparwa.. Pada sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil,
yang di dalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut
mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh
penguasa ghaib kompleks candi tersebut . Di dekat candi kecil terdapat
arca kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari
dunia bawah yakni dasar gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah
suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika dewa Wisnu
menjelma sebagai kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain
mencari air kehidupan (tirta prewita sari). Ada juga arca garuda dua
buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada
prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang
menyiratkan bahwa Candi Sukuh dalam candi untuk pengruwatan, yakni
prasasti yang diukir di punggung relief sapi.
Sapi tersebut digambarkan sedang
menggigit ekornya sendiri dengan kandungan sengkalan rumit : Goh wiku
anahut buntut maknanya tahun 1379 Saka. Sengkalan ini makna tahunnya
persis sama dengan makna prasasti yang ada di punggung sapi yang artinya
kurang lebih demikian : untuk diingat-ingat ketika hendak bersujud di
kayangan (puncak gunung), terlebih dahulu agar datang di pemandian suci.
Saat itu adalah tahun saka Goh Wiku anahut buntut 1379. Kata yang sama
dengan ruwatan di sini yaitu kata : “pawitra” yang artinya pemandian
suci. Karena kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam
pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti
halnya kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk Pengruwatan , seperti yang
sudah diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya
serta prasasti-prasasti, maka dapat di pastikan Candi Sukuh pada
jamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar
(ritus) ruwatan. Tetapi dengan melihat adanya relief lingga-yoni di
gapura terdepan dan pada bagian atas candhi induk, tentulah candhi Sukuh
juga sebagai lambang ucapan sukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas kesuburan.yang mereka peroleh Sedangkan dilihat dari
bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak” tentulah candi ini
merupakan tempat pemujaan roh-roh leluhur.
Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan
tempat untuk upacara pengruwatan yakni : a. Relief lingga-yoni di gapura
pertama selain berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat”
siapa saja yang memasuki candi. b. Relief Sudamala yang menceritakan
Sadewa “ngruwat” sang Durga. c. Relief Garudeya yang menggambarkan
Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama dewi Winata. d. Prasasti tahun 1363
Saka dalam kalimat “babajang maramati setra hanang bango”. e. Prasasti
tahun 1379 Saka di punggung lembu yakni kata “pawitra” yang berarti air
suci (air untuk pengruwatan). Ikwal upacara “ngruwat” yang dipaparkan di
sini sudah barang tentu berbeda dengan upacara ruwatan pada jaman
sekarang yang biasanya dilakukan oleh seorang dalang sejati. Yang sering
di sebut dalam masyarakat jawa dalang Kandha Buwana.
Dan ada anak yang diruwat pun mempunyai
“sukerta” karena posisinya dalam keluarga misalnya: anak ontang-anting,
uger-uger lawang, kembang sepasang,kedhana kedhini, sendhang kapit
pancuran. Pancuran kapit sendang dan sebagainya; juga karena kebiasaan
sehari-hari yang tidak kita sadari misalnya: menjatuhkan “dandang”
(tanakan nasi), membuang sampah dari jendela,berjalan seorang diri
diwaktu siang hari bolong, atau karena bawaan sejak lahir misalnya
gondang-kasih, bungkus, kalung usus; atau karena waktu kelahirannya
misalnya julung serap, julung wangi dan sebagainya. Anak-anak yang
mempunyai sukerta ini diruwat oleh dalang sejati agar terbebas dari
incaran Bethara Kala. Yang dimaksud ruwat di candi Sukuh jelaskah
berbeda dengan ruwatan anak-anak sukerta. tersebut diatas, tetapi
ruwatan yang melingkupi sebuah masyarakat dan berbagai permasalahan yang
melilit kehidupan mereka.
Namun di sini perlu kita cermati
keberadaan candhi Sukuh ini yang merupakan tempat peribadahan yang suci
yang menjadi saksi atas keta`atan sebuah generasi dan keutuhan sebuah
masa yang begitu mengagungkan nilai-nilai kebudayaan dan peribadahan
menjadi satu dalam wujud karya yang tiada ternilai harganya, maka picik
bagi kita sebagai generasi pewaris bila tak ada niatan dalam hati kita
untuk turut berbagi dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan kandungan
yang tersimpan di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar