Selasa, 02 April 2013


Lagu Daerah Sumatera Selatan

1. Dek Sangke

Dek sangke aku dek sangke
Awak tunak ngaku juare
Alamat badan kan sare
Akhirnya masuk penjare
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Ujiku bujang tak batanye tua bangke
Anaknye lah gadis gale
Dek sangke gadis tegile
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Ujiku gadis tak batanye jande mude
Anaknye lah ade tige
Dak sangke bujang tegile
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke
Dek sangke aku dek sangke
Cempedak babuah nangke

2. Cuk Mak Ilang

Kapal api masok pelembang
Banyu tenang jadi gelumbang
Oi makmano ati dak bimbang
Gades doson bujang pelembang
Cop mak ilang
Mak ilang jaga batu
Dimano koceng belang
Disitu rumah aku
Alangkah lemak rumah di lebak
Siput dan gondang memanjat cagak
Alangkah lemak rumah nan parak
Bukak jendelo lah saling agam
Cop mak ilang
Mak ilang jaga batu
Dimano koceng belang
Disitu rumah aku
Sempayo digulai lemak
Batang padi dibelah duo
Jangan takot dimarah umak
Asak jadi kito beduo
Cop mak ilang
Mak ilang jaga batu
Dimano koceng belang
Disitu rumah aku
Anak ikan dimakan ikan
Ikan dilaut beduri duri
Sanaklah bukan sodaro bukan
Sangkot paotnyo kareno budi
Cop mak ilang
Mak ilang jaga batu
Dimano koceng belang
Disitu rumah aku

3. Kabile-Bile

Kabile-bile mangke ku lege
Kabile-bile ku ade kance
Kabile-bile mangke ku lege
Kabile-bile ku ade kance
Kabile nian jagunglah putih
Putih dik putih kukendam kina
Kebile nian ibung kah nulih
Nulih dik nulih kudendam kina
Kabile nian mampat begune
Mangke dik payah ku nandan lagi
Kebile nian sifat begune
Mangke dik payah ku midang lagi
Oh, malang nian nasib ‘mbak ini
Bilangan jeme lah laut gale
Alahkah sedih ai tumbak ini
Aku ‘mbak ini dide bekance

4. Tari Tanggai

Sesuai dengan judulnya, lagu ini sering dinyanyikan untuk mengiringi tarian adat yaitu tari tanggai dari Palembang.
dan inilah liriknya:
Lemah Lembut,Lemah Lembut
Tangan Gemulai,Gemulai
Jari – Jari Yang Menari Halus Semampai
Lemah Lembut,Lemah Lembut
Tangan Gemulai,Gemulai
Jari – Jari Yang Menari Halus Semampai
Anak Dara Yang Manis
Bidadari Rupawan Sedang Asyik Manari Tari Tanggai
Anak Dara Yang Manis
Bidadari Rupawan Sedang Asyik Manari Tari Tanggai

Rumah Adat Palembang


BENTUK rumah limas sangat khas. Dalam istilah bahasa, limas  ada dua suku kata yakni
lima dan emas. Sedangkan ciri  khasnya terrletak pada atapnya  yang berbentuk limas dan memiliki  tiang atau rumah panggung. Sebenarnya rumah khas Palembang yang termasuk rumah panggung ini sangat cocok  kondisi alam Palembang yang memang sebagian besar
termasuk kawasan perairan.

Biasanya jenis rumah panggung termasuk rumah limas yang  didirikan di pinggir sungai menghadap  ke darat, yang dilengkapi ruangan bengkilas, untuk digunakan  saat pemilik menggelar hajatan, kenduri atau pertemuanpertemuan penting. Sebenarnya, antara rumah panggung dan limas memiliki kemiripan karena berdiri menggunakan tiang. Hanya saja, rumah panggung tidak  ada kijing (undakan). Sedangkan rumah limas dijumpai hingga 3-4 tingkatan yang memiliki simbol tertentu.

Umumnya kedua jenis rumah ini, dirancang dengan ukuran besar dan banyak ruang di dalamnya. Sebagai fungsinya, rumah sebagai tempat tinggal karena di dalamnya terjadi proses pembentukan watak dan kepribadian penghuninya.

Seperti rumah limas milik Haji Abdul Razak dan Nyayu Husna yang terletak di Jl Jend
Sudirman. Menurut Abdurahman, putra bungsu H Abdul Razak yang menerima amanat untuk memelihara rumah ini, rumah limas yang diperkirakan kurang lebih 600-an tahun lalu, atau tepatnya pada 1418 Masehi, bahkan dalam tahapannya beberapa kali dipindah
tempat. Dulunya rumah ini, berlokasi di Indralaya, kemudian dipindahkan ke 16 Ilir, dan
terakhir di Jl Jendral Sudirman. Walaupun sudah tiga kali dipindahkan, tetapi bahannya yang terdiri dari jenis kayu jati dan kayu besi, memudahkan pemiliknya untuk menjaga keaslian rumah khas Palembang.

Keunikan rumah limas ini, karena bentuk aslinya sebagai khas rumah adat Palembang. Pada bagian depan, terdapat dua tangga dengan mode tangga lurus (single flight stairway). Tangga ini tergolong sederhana, karena terbuat dari kayu tetapi tetap terkesan
khas karena dilengkapi besi berbentuk tombak.

Sampai saat ini belum mengalami prombakan atau perubahan bahan bangunan. Bahkan,
plafon langit masih dalam bentuk asli, sarat dengan bahanbahan lama. Terutama ukiran
ukiran dinding, meja kursi. Layaknya sebuah rumah limas, di dalamnya ditata apik dan serasi baik interior maupun eksteriornya sehingga menjadi asri bahkan menumbuhkan ilusi masa lalu. “Ini rumah kenangan leluhur Palembang, selain itu rumah ini satu-satunya peninggalan rumah bersejarah yang menjadi kenang-kenangan keluarga besar kami,” kata Aman sapaannya.


Kijing, Simbol Keturunan

BENTUK rumah limas ini, me-Palembang. Sehingga karakter mang sangat kental dengan khas rumah limas terlihat dengan jelas mulai dari dinding, tangga, pintu, tiang penyangga plafon hingga ke kerangka atap. Namun jika kita memasuki setiap ruang, maka aroma adat asli khas Palembang sangat terasa dari setiap kijing atau tingkatan teras rumah. Setiap kijing atau undakan menjadi simbol perbedaan garis keturunan asli masyarakat
Palembang.

Kijing (undakan) pertama merupakan teras paling rendah yang ditutup oleh ukiran berbentuk tombak yang dibentangi karpet merah, merupakan tempat berkumpul golongan Kemas (Kms). Sedangkan kijing kedua, lebih tinggi dari kijing pertama, memiliki enam pintu dibentangi karpet hijau merupakan tempat berkumpul para Kiagus (Kgs) dan Massagus (Mgs). Memasuki kijing ketiga yang kononnya milik golongan Raden dan keluarganya inilah, nuansa khas Palembang bergitu kental.

Memasuki ruang tamu atau tengah kita akan menjumpai bingkai atau monumen keluarga
yang berukiran khas kerajaan Sriwijaya dengan tinta emas, menyatu dengan dinding, ukuran 2,5 meter. Kemudian ada dua kamar atau ruang peraduan dengan binkai emas yang berukir khusus, tentunya dibagian dalam rumah ini, memiliki makna filosofis tentang moral dan sosial. Sebab di balik dinding, terdapat dua kamar yang boleh ditempati oleh almarhum kedua orang tuanya dan panerima amanat menjaga rumah.

Nuansa Masa Lalu di Rumah Bari
DI antara deretan rumah-rumah panggung di daerah Tangga Buntung, Palembang, tersembul rumah-rumah panggung kayu dengan arsitektur khas. Rumah bari, demikian masyarakat Palembang menyebutnya. Bari dalam bahasa Palembang berarti lama atau kuno.
Dari segi arsitektur, rumah-rumah kayu itu disebut rumah limas karena bentuk atapnya yang berupa limasan. Sumatera Selatan adalah salah satu daerah yang memiliki ciri khas rumah limas sebagai rumah tinggal. Alam Sumatera Selatan yang lekat dengan perairan tawar, baik itu rawa maupun sungai, membuat masyarakatnya membangun rumah panggung. Di tepian Sungai Musi masih ada rumah limas yang pintu masuknya menghadap ke sungai.

Rumah panggung secara fungsional memenuhi syarat mengatasi kondisi rawa dan sungai seperti di Palembang, yang sempat dijuluki Venesia dari Timur karena ratusan anak sungai yang mengelilingi wilayah daratannya. Namun, seiring berjalannya waktu, lingkungan perairan sungai dan rawa justru semakin menyempit. Rumah- rumah limas yang tadinya berdiri bebas di tengah rawa atau di atas sungai akhirnya dikepung perkampungan.
Ari Siswanto, dosen di Jurusan Arsitektur Universitas Sriwijaya, mengatakan, di Palembang hanya ada beberapa rumah limas yang dirawat dengan baik oleh penghuninya. "Kebanyakan dari mereka terbentur dana karena perawatan rumah limas yang besar itu butuh biaya banyak," ujar Ari.
Ada dua jenis rumah limas di Sumatera Selatan, yaitu rumah limas yang dibangun dengan ketinggian lantai yang berbeda dan yang sejajar. Rumah limas yang lantainya sejajar ini kerap disebut rumah ulu.

Bangunan rumah limas biasanya memanjang ke belakang. Ada bangunan yang ukuran lebarnya 20 meter dengan panjang mencapai 100 meter. Rumah limas yang besar melambangkan status sosial pemilik rumah. Biasanya pemiliknya adalah keturunan keluarga Kesultanan Palembang, pejabat pemerintahan Hindia Belanda, atau saudagar kaya.
Bangunan rumah limas memakai bahan kayu unglen atau merbau yang tahan air. Dindingnya terbuat dari papan-papan kayu yang disusun tegak. Untuk naik ke rumah limas dibuatlah dua undak-undakan kayu dari sebelah kiri dan kanan.
Bagian teras rumah biasanya dikelilingi pagar kayu berjeruji yang disebut tenggalung. Makna filosofis di balik pagar kayu itu adalah untuk menahan supaya anak perempuan tidak keluar dari rumah.
Memasuki bagian dalam rumah, pintu masuk ke rumah limas adalah bagian yang unik. Pintu kayu tersebut jika dibuka lebar akan menempel ke langit- langit teras. Untuk menopangnya, digunakan kunci dan pegas.
Bagian dalam ruangan tamu, yang disebut kekijing, berupa pelataran yang luas. Ruangan ini menjadi pusat kegiatan berkumpul jika ada perhelatan. Ruang tamu sekaligus menjadi "ruang pamer" untuk menunjukkan kemakmuran pemilik rumah. Bagian dinding ruangan dihiasi dengan ukiran bermotif flora yang dicat dengan warna keemasan. Tak jarang, pemilik menggunakan timah dan emas di bagian ukiran dan lampu- lampu gantung antik sebagai aksesori.
"Bagi pemilik rumah yang masih memerhatikan perbedaan kasta dalam keturunan adat Palembang, mereka akan membuat lantai rumahnya bertingkat-tingkat untuk menyesuaikan kasta tersebut," ujar Ari.
Salah satu rumah limas yang menghormati perbedaan adat itu adalah rumah limas milik keluarga almarhum Bayumi Wahab. Lantai rumah itu dibuat menjadi tiga tingkat sesuai dengan urutan keturunan masyarakat Palembang, yaitu raden, masagus, dan kiagus. Rumah yang berada di Jalan Mayor Ruslan ini awalnya berdiri di daerah Tanjung Sejaro, Ogan Komering Ilir. Rumah ini dipindahkan ke Palembang tahun 1962, tetapi rumah tersebut tidak lagi dipakai sebagai hunian sehari-hari.

Rumah limas sebenarnya dapat menjadi hunian yang nyaman. Dengan sedikit sentuhan, rumah panggung dari kayu ini dapat menjadi tempat tinggal yang hangat. Contohnya adalah rumah limas milik keluarga Muhammad Akib Nasution di Jalan Bank Raya, Palembang.
"Rumah limas ini warisan kakek istri saya, seorang pangeran keturunan kesultanan. Rumah ini kami boyong dari Air Hitam, Ogan Komering Ilir, ke Palembang sekitar tahun 1990," ujar Akib.
Rumah tersebut aslinya memiliki panjang 65 meter dan lebar 25 meter, tetapi karena tanah Akib di Palembang terbatas, rumah kayu itu pun terpaksa dipotong. Panjangnya tinggal 25 meter dan lebar sekitar 8 meter.
Akib, mantan pegawai Dinas Pekerjaan Umum Sumsel, itu melakukan beberapa perubahan terhadap rumah limas tersebut. Bagian tangganya diganti dengan tangga melingkar dari batu. Pintu masuknya diganti dengan daun pintu yang membuka ke arah dalam.
Bagian ruang tamunya lebih sempit karena ruang yang tersisa disekat menjadi empat kamar tidur. Meskipun tidak terlalu luas, ruangan tamu ini tetap menjadi ruangan yang termewah.
Ruang berukuran delapan kali tiga meter tersebut diberi pembatas berupa panel ukiran motif bunga matahari, pakis, dan sulur-suluran. Ketika rumah itu baru dipindah ke Palembang dan disusun kembali, Akib sengaja memesan panel ukiran baru kepada seorang perajin untuk menggantikan ukir-ukiran lama yang sudah rusak.

"Ukirannya halus sekali, sekarang sudah sulit mencari perajin yang bisa mengukir sehalus dan serapi ini," kata Akib. Warna cat yang kuning keemasan tetap dipertahankan sebagai ciri khas Palembang. Selain ukiran kayu, lemari hias berukir sepanjang dinding menjadi penegas dari ruangan tamu.
Ruangan tidur utama memiliki kamar mandi pribadi, lengkap dengan bath tub dan shower. Akib tetap mempertahankan ciri khas pintu kamar yang dibuat lebih tinggi dari lantai. Kebetulan ia dan istrinya gemar berburu barang antik sehingga ranjang buatan Belanda pun dipajang di tempat peraduan.
Yang unik, dinding kayu rumah panggung itu disusun menyirip. Menurut Akib, struktur bangunan asli dengan posisi kayu tegak tidak menjamin kekuatan dinding. "Kayu yang disusun vertikal lebih mudah doyong, di situlah kelemahan rumah panggung," ujar Akib.

Karena ruangan yang terbatas, dapur bersih dan dapur kotor dibangun menyatu di bagian paling belakang rumah tersebut.
Namun, sayangnya keluarga Akib hanya menempati rumah tersebut selama dua tahun.
"Setelah rumah kami yang sebelumnya dikontrak orang Jepang kosong, kami sekeluarga pindah rumah. Rumah limas itu dibiarkan kosong, paling-paling dipakai sesekali kalau ada acara," kata Akib menjelaskan.
Begitulah, rumah limas yang tidak sekadar indah, tetapi juga mempunyai banyak filosofi di dalamnya, pelan-pelan tertinggal oleh kemajuan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar